Firman Allah Ta’aalaa:
Artinya: Tidak mungkin seorang Nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Siapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari Kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi balasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (balasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya. (QS. Ali Imran: 161)
Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas. ‘Abdullah bin ‘Abbas berkata: “Turunnya ayat ini berkenaan dengan hilangnya sehelai permadani merah pada waktu perang Badar. Sebagian orang berkata: “Barangkali sudah diambil Rasulullah SAW!”. Maka Allah SWT. menurunkan ayat di atas.
Menurut al-Nasafi, orang bisa disebut ghulul apabila mengambil sesuatu dengan sembunyi-sembunyi ( ‘Abd Allah bin Ahmad, Tafsir al-Nasafi, h.191). Dengan kata lain segala macam bentuk pangambilan dan penyimpangan harta, seperti korupsi, suap, manipulasi dan mencuri, termasuk perbuatan ghulûl. Jadi, kata ghulul (الْغُلُولُ) di atas, secara umum digunakan untuk setiap pengambilan harta oleh seseorang secara khianat, atau tidak dibenarkan dalam tugas yang diamanahkan kepadanya.
Ditandaskan pada ayat ini, seorang Nabi tidak mungkin berbuat ghulûl, khianat atau korupsi. Allah SWT telah menjaga para nabi dari pelanggaran, walau sekecil apa pun. Jika ada nabi tergelincir dari syari’ah, maka Allah SWT selalu langsung menegur dan meluruskannya dengan turun wahyu. Oleh karena itu tidak pantas bagi siapa pun menyangka seorang nabi berbuat korupsi. Rasul SAW memiliki kedudukan yang tinggi dan meraih derajat mulia dan selalu berakhlaq terpuji (Mahmud Hijzi, al-Tafsir al-Wadlih, h.44).
Beberapa hadits yang menerangkan larangan dan bahayanya ghulul ini, antara lain:
Dari ‘Adiy bin ‘Amirah Al Kindi ra berkata: Aku pernah mendengar Nabi SAW bersabda: Barangsiapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), lalu dia menyembunyikan dari kami sebatang jarum atau lebih dari itu, maka itu adalah ghulul (belenggu, harta korupsi) yang akan dia bawa pada hari kiamat”. (‘Adiy) berkata: Maka ada seorang lelaki hitam dari Anshar berdiri menghadap Nabi SAW, seolah-olah aku melihatnya, lalu dia berkata,”Wahai Rasulullah, copotlah jabatanku yang engkau tugaskan.” Nabi SAW bertanya,”Ada apa gerangan?” Dia menjawab,”Aku mendengar engkau berkata demikian dan demikian (maksudnya perkataan di atas).” Beliau SAW pun berkata,”Aku katakan sekarang, (bahwa) barangsiapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), maka hendaklah dia membawa (seluruh hasilnya), sedikit maupun banyak. Kemudian, apa yang diberikan kepadanya, maka dia (boleh) mengambilnya. Sedangkan apa yang dilarang, maka tidak boleh. (HR.Muslim no. 3415; Abu Dawud no. 3110).
Dari Said bin Zaid bin Amr bin Nufail ra. ia berkata: Sesungguhnya Rasulullah SAW pernah bersabda: Barangsiapa mengambil sejengkal tanah secara dhalim, maka Allah akan mengalungkan di lehernya pada Hari Kiamat nanti dengan setebal tujuh lapis bumi. (HR Al-Bukhari dan Muslim)
Abdullah bin Abbas berkata, Umar bin Al-Khatthab menceritakan kepadaku, ia berkata: “Bahwa pada perang Khaibar beberapa sahabat menghadap Rasulullah seraya mengatakan: Fulan mati syahid dan Fulan mati syahid sehingga mereka datang atas seorang lelaki maka mereka berkata: Fulan mati syahid. Maka Rasulullah SAW menjawab: Tidak, sesungguhnya saya melihatnya ada di neraka, karena ia menyembunyikan sehelai burdah (baju) atau aba’ah. Kemudian Rasulullah SAW berkata: “Wahai Ibnul Khatthab, pergilah maka serukan kepada orang-orang bahwa tidak masuk surga kecuali orang-orang mu’min.” Ia (Umar) berkata: Maka aku keluar lalu aku serukan: Ingatlah sesungguhnya tidak masuk surga kecuali orang-orang mu’min. (HR. Muslim)
Dari Abu Humaid as-Saaidi ra, ia berkata: Rasulullah SAW telah memberi tugas kepada seorang lelaki dari Kaum al-Asad yang dikenali sebagai Ibnu Lutbiyah. Ia ikut Amru dan Ibnu Abu Umar untuk urusan sedekah. Setelah kembali dari menjalankan tugasnya, lelaki tersebut berkata kepada Rasulullah SAW: Ini untuk Anda dan ini untukku karena memang dihadiahkan kepadaku. Setelah mendengar kata-kata tersebut, lalu Rasulullah SAW berdiri di atas mimbar. Setelah mengucapkan puji-pujian ke hadirat Allah, beliau bersabda: “Adakah patut seorang petugas yang aku kirim untuk mengurus suatu tugas berani berkata: Ini untuk Anda dan ini untukku karena memang dihadiahkan kepdaku? Kenapa dia tidak duduk di rumah bapak atau ibunya (tanpa memegang jabatan apa-apa) sehingga ia menunggu, apakah dia akan dihadiahi sesuatu atau tidak? Demi Dzat Muhammad yang berada di tangan-Nya, tidaklah salah seorang dari kalian mengambil sesuatu darinya kecuali pada Hari Kiamat kelak dia akan datang dengan memikul di atas lehernya (jika yang diambil itu seekor unta maka) seekor unta itu akan mengeluarkan suaranya, atau seekor lembu yang melenguh atau seekor kambing yang mengembek“. Kemudian beliau mengangkat kedua-dua tangannya tinggi-tinggi sehingga nampak kedua ketiaknya yang putih, dan beliau bersabda: “Ya Allah! Bukankah aku telah menyampaikannya,” sebanyak dua kali (HR. Bukhari dan Muslim)
Bahayanya Ghulul
Beberapa bahaya ghulul, diantaranya :
- Pelaku ghulul (korupsi) akan dibelenggu, atau ia akan membawa hasil korupsinya pada hari Kiamat, sebagaimana ditunjukkan dalam ayat ke-161 surat Ali Imran dan hadits ‘Adiy bin ‘Amirah ra. di atas. Dan dalam hadits Abu Humaid as Sa’idi ra., Rasulullah SAW bersabda: “Demi (Allah), yang jiwaku berada di tanganNya. Tidaklah seseorang mengambil sesuatu daripadanya (harta zakat), melainkan dia akan datang pada hari Kiamat membawanya di lehernya. Jjika (yang dia ambil) seekor unta, maka (unta itu) bersuara. Jika (yang dia ambil) seekor sapi, maka (sapi itu pun) bersuara. Atau jika (yang dia ambil) seekor kambing, maka (kambing itu pun) bersuara..”(HR al Bukhari no. 2597 dan Muslim no. 3413).
- Perbuatan korupsi menjadi penyebab kehinaan dan siksa api neraka pada hari Kiamat.
Dalam hadits Ubadah bin ash Shamit ra, bahwa Nabi SAW bersabda: “…(karena) sesungguhnya ghulul (korupsi) itu adalah kehinaan, aib dan api neraka bagi pelakunya” (HR Ibnu Majah no. 2850, dishahihkan oleh Syaikh al Albani).
- Orang yang mati dalam keadaan membawa harta ghulul (korupsi), ia tidak mendapat jaminan atau terhalang masuk surga. Hal itu dapat dipahami dari sabda Nabi SAW: “Barangsiapa berpisah ruh dari jasadnya (mati) dalam keadaan terbebas dari tiga perkara, maka ia (dijamin) masuk surga. Yaitu kesombongan, ghulul (korupsi) dan hutang”(HR Ahmad, no. 21291; at Tirmidzi, no. 1572)
Rasulullah saw. menjelaskan bahwa ghullul (korupsi), kibr (angkuh), dan dain (hutang yang tidak dibayar) dapat menghalangi seseorang masuk surga. Di riwayat lain, Rasulullah saw. tidak menyebut al-kibr (sombong), tetapi al-kanz (penimbunan atau penyembunyian barang ketika dibutuhkan oleh publik). Walaupun seseorang memiliki banyak kebaikan dan ibadah lainnya, tetapi jika ia terlibat korupsi, keangkuhan (riwayat lain, penimbunan) dan enggan membayar hutang, maka sulit baginya untuk masuk ke dalam surga. Surga hanya diperuntukkan untuk mereka yang hidupnya jujur, tidak curang, tidak sombong dan jika berhutang bersedia melunasinya.
Dalam hadis di atas, tiga hal itu adalah sombong, ghulul, dan hutang. Tiga hal tersebut menghalangi seseorang masuk surga. Hadis di atas sedikit berbeda redaksi dengan riwayat lain yang mengganti al-kibr (sombong) dengan alkanz (menyimpan atau menimbun kebutuhan pokok rakyat) dengan tetap menyebutkan kata ghulul. Hadis ini sangat tegas. Siapa saja manusia yang terbelit atau terkait tiga masalah tersebut dengan bukti-bukti yang cukup akan terhalangi masuk surga. Juga dapat dipahami bahwa pelaku korupsi harus mengembalikan semua kekayaan hasil korupsi, bila tidak akan menjadi hutang yang harus dibayar. Seorang yang tidak tertangkap atau tidak diketahui oleh pihak lain bahwa ia korupsi, maka tetap saja akan menjadi hutang yang harus dibayar atau dikembalikan. Jika tidak, akan mengganjal pintunya menuju surga.
- Allah tidak menerima shadaqah seseorang dari harta ghulul (korupsi), sebagaimana dalam sabda Nabi SAW: “Shalat tidak akan diterima tanpa bersuci, dan shadaqah tidak diterima dari harta ghulul (korupsi)”. (HR Muslim no. 329, dari Ibnu Umar ra).
Rasulullah saw. menegaskan bahwa Allah tidak menerima sedekah yang dihasilkan dari korupsi atau tindak kecurangan lainnya. Dengan pernyataan yang lebih populer, dosa korupsi tidak bisa diputihkan dengan sedekah sebanyak apapun. Hal ini dipahami dari beberapa hadis yang jumlahnya sangat banyak.
Bagi sebagian koruptor, setelah sukses melakukan korupsi, ia akan berusaha tampil “saleh” dengan membagi sebagian hasilnya untuk membangun masjid, menyantuni anak-anak yatim, memberi beasiswa belajar bagi anak tak mampu, mengundang fakir miskin, bolak-balik ke Makkah tiap tahun untuk Umrah dan Haji sebagai topeng yang menutupi wajahnya yang korup, dan sebagainya. Walaupun itu dilakukan dengan intensif, terutama di bulan Ramadhan, tetap saja sia-sia dalam pandangan Allah. Tindakan demikian sebenarnya hendak mengelabui atau menyuap Allah dengan sejumput sedekah yang riya atau ibadah yang pura-pura.
- Harta hasil korupsi adalah haram, sehingga ia menjadi salah satu penyebab yang dapat menghalangi terkabulnya do’a, sebagaimana dipahami dari sabda Nabi SAW: “Wahai manusia, sesungguhnya Allah itu baik, tidak menerima kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah memerintahkan orang-orang yang beriman dengan apa yang Allah perintahkan kepada para rasul. Allah berfirman,”Wahai para rasul, makanlah dari yang baik-baik dan kerjakanlah amal shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan”. Dia (Allah) juga berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, makanlah yang baik-baik dari yang Kami rizkikan kepada kamu,” kemudian beliau (Rasulullah) SAW menceritakan seseorang yang lama bersafar, berpakaian kusut dan berdebu. Dia menengadahkan tangannya ke langit (seraya berdo’a): “Ya Rabb…, ya Rabb…,” tetapi makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan dirinya dipenuhi dengan sesuatu yang haram. Maka, bagaimana do’anya akan dikabulkan?” (HR Muslim, 1686).
Dalam konteks kekinian, banyak sekali kasus korupsi di negeri kita ini, mulai dari kasus-kasus kecil hingga kasus besar. Beberapa tindakan berikut dapat dikategorikan sebagai ghulul, misalnya: pejabat/pegawai yang menggunakan fasilitas negara/publik untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya, pejabat pengadaan barang yang me-mark up (menggelembungkan) biaya pembelian dari yang seharusnya, pegawai parkir yang tidak menyerahkan seluruh pendapatan parkir kepada yang berwenang, petugas pajak yang kongkalikong dengan wajib pajak dan mengajari bagaimana memperkecil tagihan pajak sembari menerima “hadiah” dari wajib pajak tersebut, pejabat yang tidak mengembalikan sarana dinas (kendaraan, rumah dan lain-lain) setelah tidak menjabat lagi. Bahkan, sering kali diberitakan seorang pejabat/pegawai ketika masih menjabat dikenal bersih, ternyata setelah berakhir masa tugas, diketahui telah menggelapkan kekayaan negara atau publik.
Musadad telah menceritakan hadis kepada kami bahwa Yahya ibn Sa’id dan Bisr ibn al-Mufadhdhal menceritakan hadis dari Yahya ibn Sa’id, dari Muhammad ibn Yahya ibn Hbban, dari Abi ‘Amrah, dari Zaid ibn Khalid al-Juhani (diriwayatkan) bahwa salah seorang sahabat Nabi meninggal dunia pada waktu peperangan Khaibar. Sahabat memberitahukan hal itu kepada Rasulullah saw, kemudian beliau bersabda: “Shalatkanlah kawanmu itu.” Berubahlah wajah orang-orang itu karena (mendengar) sabda tersebut. Kemudian Rasulullah saw. menegaskan, temanmu itu telah melakukan ghulul di jalan Allah”. Kamipun segera memeriksa barang-barangnya, lalu kami menemukan perhiasan milik orang Yahudi yang harganya tidak mencapai dua dirham ( HR. Abu Dawud, No. 2335.)
Hadis di atas sangatlah kuat menjadi dalil tentang kerasnya larangan ghulul. Hadits ini juga menunjukkan bahwa korupsi terjadi dalam konteks harta atau kekayaan publik yang pada masa dahulu dicontohkan dengan harta rampasan perang. Jumlah barang/kekayaan yang dikorup pun dijelaskan, walaupun hanya ditemukan relatif kecil, tidak sampai dua dirham. Sekecil itupun Rasulullah saw. tidak bersedia menyalatkan jenazahnya, apalagi yang lebih besar daripada itu. Dengan tidak bersedia menyalatkan, berarti Rasulullah saw. sangat marah dan tidak mau mendoakan untuk pengampunan dan keselamatannya.