Seringkali, idealita tidak sesuai dengan realita, harapan tidak sesuai dengan kenyataan, narasi tidak sejalan dengan fungsi. Pada keduanya, selalu ada jarak yang memisahkannya, garis singgungnya menjadi titik kompromi yang harus diterima apa adanya. Dengan demikian, mestinya ada upaya yang luar biasa untuk meningkatkan pencapaian agar fakta tidak terlalu jauh dengan cita-cita.
Jika hal di atas terjadi pada organisasi kerja di masa lalu, maka ilmu di kala itu cukup menjawab tantangan. Lalu, bagaimana andaikan masalah-masalah tersebut terjadi di masa kini dengan intensitas yang lebih sering, kompleks dan sistemik. Sebut misalnya, dulu kita merasa terhina jika negara kita dikategorikan sebagai negara berkembang, namun kini kita malah bingung jika disebut negara maju tapi pertumbuhan ekonominya selalu di bawah 6 persen dan hutangnya tinggi.
Di era yang disebut sebagai era VUCA ini, perubahan sosial terjadi begitu cepat. Arus informasi dan akses teknologi yang sangat mudah mempengaruhi perilaku individu maupun kelompok secara cepat sekali. Hanya ada dua pilihan dengan adanya perubahan di sekitar kita, yakni menerima atau menolak. Begitu juga, jika masjid sebagai anasir utama peradaban umat islam tidak mengambil peran dalam perubahan sosial, masjid hanya akan menjadi obyek perubahan dan tidak akan pernah menjadi subjek sejarah.
Lalu, darimanakah masalah kemasjidan itu bisa diurai? Biasanya, di masjid ada dua generasi yang berseberangan, golongan pertama adalah golongan orang tua yang ingin mempertahankan status quo, susah dirubah, pola pikir yang kolot dan enggan belajar. Sementara di sisi lain, muncul generasi muda yang tumbuh dengan semangat darah muda, ilmu yang up to date, peka terhadap perubahan dan adaptif dengan perkembangan zaman.
Sebagai gambaran, kas masjid jika dipegang orang tua maka jumlah saldonya besar, namun di tangan anak muda, sangat besar harapan mereka, jika saldo kas bisa nol. Selain manfaatnya adalah untuk mengoptimalkan program masjid, juga agar orang yang bersedekah segera mendapatkan benefit atas donasinya.
Untuk membangun masjid sebagai pilar peradaban, setidaknya ada tiga hal yang mesti dibangun :
- Ketakmiran dan manajerial
Kunci keberhasilan masjid raya Al-Falah sragen dalam mengkonsolidasikan kekuatan umat ada pada pemilihan struktur takmir yang diisi anak muda, visioner, penuh dengan ide-ide segar.
Dengan diangkatnya coach Kusnadi ikhwani sebagai ketua Takmir masjid dan coach dodok sartono sebagai wakil takmir maka gerbong yang dibawa menyesuaikan dengan gerak cepat kedua orang itu. Jadi, kuncinya ada pada leadership, leadership bukan hanya soal seni memimpin, tapi lebih jauh dari itu adalah soal seni mempengaruhi orang, seni menggerakkan potensi resource-nya, seni memberdayakan kekuatan anak buah dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Dengan latar belakang sebagai pengusaha, maka keduanya energik, kehadirannya dinanti, inspirasinya selalu ditunggu. Platformnya jelas, yaitu melayani dan memberi. Itulah DNA Al-Falah, selalu ada ide untuk melayani dan memberi untuk jamaah, sehingga apa yang disediakan oleh Al-Falah adalah manifestasi dari gerakan sedekah yang terus digaungkan. Gerakan filantropi ini bukan hanya dilakukan oleh takmir, tetapi juga oleh abdi dalem masjid, para pedagang, jamaah dan juga para pengusaha yang nyaman jika nongkrong di halaman masjid dan memiliki jadwal kajian tersendiri.
Dua hal yang harus dibangun ketika memulai ketakmiran yang baru, yaitu penyediaan fasilitas dan layanan. Kalau dirunut dari awal, maka masjid al-falah memulainya dengan merekrut imam dan muadzin tetap, petugas kebersihan, petugas keamanan yang dipimpin oleh direktur operasional dan digaji secara profesional. Saat ini, Al-Falah telah memiliki 35 personel yang setiap harinya membantu melayani kebutuhan jamaah.
Selain itu, masjid memasang CCTV, fasilitas Wifi, tempat nongkrong dan jajan, ATM beras untuk dhuafa, penggantian barang hilang, masjid dibuka 24 jam, teh dan infuse water selalu ready, hadiah umroh dan sepeda motor kepada jamaah yang rutin ke masjid. Al-Falah juga memiliki armada dan brigade bersih-bersih masjid yang berkeliling membersihkan masjid se kabupaten Sragen.
- Membangun BUMM (badan usaha milik masjid)
Mengelola SDM dan program yang begitu banyak, tentu membutuhkan dana yang besar, maka solusinya masjid tidak bisa mengandalkan infaq sebagai sumber pendapatan tunggal, oleh karena itu masjid kemudian membentuk BUMM yang diprakarsai oleh ketua Takmir, ust Jazier ASP, Pimpinan Daerah Muhammadiyah kabupaten Sragen, Ibu Suciati Saliman (Pendiri masjid mini Nabawi) bapak Suseno (owner Auliya Fashion). Saat ini, usaha yang sedang dibangun adalah penyediaan nasi box, Sego Jum’at, sedekah makan siang untuk anak yatim, pendirian warung soto dan angsle, serta Al-Falah wedding organizer.
Ke depan, Takmir masjid sedang mengupayakan pembangunan ruang Diklat dan pertemuan, ruang kantor dan kios-kios untuk para pedagang dan pelaku UMKM, satu di antaranya adalah oleh-oleh dan merchandise Al-Falah
- Membentuk Badan Wakaf Produktif
Tahun ini juga, seiring bertambahnya jamaah Al-Falah maka program buka puasa ramadhan maupun puasa senin-kamis tentu membutuhkan beras yang jumlahnya besar, belum lagi beras yang diberikan kepada dhuafa melalui ATM beras, maka Takmir masjid dan jamaah berupaya membeli sawah dengan skema wakaf produktif. Hasil dari sawah itulah yang kemudian digunakan untuk mendukung program-program di atas.
Begitulah jiwa, jiwa kebaikan yang bertemu dengan jiwa kebaikan pula, sebagaimana Rasulullah Sabdakan:
الأرواح جنود مجندة، ما تعارف منها ائتلف وما تناكر منها اختلف
“Ruh-ruh itu seperti pasukan yang dihimpun dalam kesatuan-kesatuan, yang saling mengenal di antara mereka akan sangat mudah tertaut dan yang saling asing di antara mereka akan mudah berselisih (HR. Muslim)
Lutfanudin
Abdi dalem masjid raya Al-Falah Kabupaten Sragen